Ladies, asupan protein sangat penting untuk mendukung pemeliharaan dan pembangunan sel-sel tubuh, termasuk otot. Bicara soal memenuhi asupan protein, bukan hanya sekadar soal kuantitas saja. Tapi, kita juga perlu memerhatikan kualitas protein yang dikonsumsi. Namun, bagaimana menilai kualitas protein dari makanan yang dikonsumsi? Dan apa saja sih faktor yang menentukan kualitas protein dalam makanan? Cari tahu jawabannya dalam ulasan berikut ya ladies.
Kualitas Protein
Kualitas protein mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi seberapa cepat tubuh dapat melakukan sinteis protein setelah mengonsumsi makanan sumber protein. Protein berkualitas tinggi ialah sumber protein mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, banyak mengandung leusin, serta mudah dicerna dan diserap.
Ada 9 asam amino esensial yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang cukup untuk merangsang sintesis protein, di antaranya yaitu:
- Leusin
- Isoleusin
- Valin
- Treonin
- Metionin
- Histidin
- Fenilalanin
- Triptofan
- Lisin
Semua asam amino ini sangat penting karena tubuh tidak dapat memproduksinya sendiri, sehingga memerlukannya dari makanan. Dari semua jenis asam amino esensial ini, yang paling penting diperhatikan kandungannya dalam makanan ialah leusin, karena berperan dalam pembentukkan protein otot baru, dan berperan sebagai sinyal untuk mengaktifkan sintesis protein.
Setelah dikonsumsi, protein akan dicerna menjadi asam amino, yang kemudian diserap dan selanjutnya dikirim ke jaringan perifer seperti otot rangka, untuk sintesis protein. Diperlukan sekitar 1,7 – 2,4 g asam amino leusin untuk menstimulasi perkembangan otot. Jumlah ini dapat dipenuhi dengan mengonsumsi protein minimal 0,3 g/ kg berat badan setiap kali makan. Kandungan asam amino leusin pada protein sekitar 8 – 10%.
Menilai Kualitas Protein
Kualitas suatu protein dapat dinilai berdasarkan kemampuan tubuh dalam menyerap protein tersebut atau disebut bioavailabilitas, yang diukur dengan skor biological value (BV). Skor BV adalah persentase protein yang disimpan tubuh untuk digunakan dalam pertumbuuhan dan pemeliharaan jaringan dan sel tubuh. Sumber protein yang memiliki skor BV sekitar 70 – 100, artinya memiliki kualitas protein yang baik. Berikut ini beberapa contoh makanan sumber protein dengan skor BV:
Sumber Protein | Skor BV |
Daging sapi | 80 |
Kasein | 77 |
Telur | 100 |
Susu | 91 |
Protein kedelai | 74 |
Gandum | 64 |
Protein whey | 104 |
Selain menggunakan skor BV, ada metode lain yang digunakan untuk menilai kualitas protein. FAO dan FDA pada tahun 1991 mengusulkan metode evaluasi kualitas protein yang disebut Protein Digestibility-Corrected Amino Acid Score (PDCAAS), dan mulai menjadi standar resmi untuk evaluasi kualitas protein sejak 1993. Namun, pada tahun 2013, FAO mengusulkan metode evaluasi baru menggantikan PDCAAS, yakni Digestible Indispensable Amino Acid Score (DIAAS).
Apa perbedaan keduanya?
- PDCAAS memperkirakan kecernaan protein secara kasar dari feses, dan ini tidak selalu mencerminkan penyerapan asam amino secara akurat. Skor PDCAAS dibatasi pada skor 1,00 (100%). Nilai yang dibatasi ini tidak memungkinkan untuk mengkategorikan skor protein yang melebihi protein referensi (protein telur).
- DIAAS menilai pencernaan masing-masing asam amino esensial di ileum (ujung usus halus), ini dianggap sebagai cerminan yang lebih baik dari penyerapan asam amino, dibandingkan menilai pencernaan protein kasar di feses. Namun, jumlah protein yang dinilai kualitasnya menggunakan DIAAS masih terbatas. Skor DIAAS dinyatakan dalam %, di mana kualitas protein yang baik dinyatakan dengan skor 75 – 99%, sementara skor 100% (1,00) atau lebih untuk kualitas protein yang sangat baik atau tinggi.
Berikut ini perbedaan skor PDCAAS dan DIAAS beberapa makanan sumber protein:
Sumber Protein | PDCAAS | DIAAS |
Isolat protein whey | 1,00 | 1,09 |
Susu | 1,00 | 1,14 |
Dada ayam | 1,00 | 1,08 |
Telur rebus | 1,00 | 1,13 |
Kacang polong (dimasak) | 0,60 | 0,58 |
Nasi | 0,62 | 0,59 |
Almond | 0,39 | 0,40 |
Buncis | 0,74 | 0,83 |
Tahu | 0,56 | 0,52 |
Protein Hewani vs Nabati, Mana yang Lebih Berkualitas?
Di antara 2 jenis protein, yakni protein hewani dan nabati, protein hewani seringkali disebut sebagai complete protein. Pasalnya, protein hewani mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, begitupun dengan kandungan leusinnya lebih tinggi. Sementara, protein nabati kurang lengkap. Beberapa protein nabati seringkali tidak atau kurang memiliki kandungan asam amino, seperti isoleusin, metionin, triptofan, dan lisin. Meskipun demikian, bukan berarti protein nabati memiliki kualitas yang buruk ya ladies. Salah satu protein nabati dengan kualitas yang tinggi contohnya ialah tempe yang diolah dari kedelai. Proses fermentasi kedelai menjadi tempe, menjadikan tempe memiliki bioavailabilitas yang tinggi.
Ladies, memenuhi asupan protein sangatlah penting, apalagi buat kamu yang sedang membangun otot. Orang dewasa dianjurkan untuk mengonsumsi setidaknya 0,8 g/ kg berat badan protein untuk memenuhi kebutuhan protein hariannya. Sementara, bagi yang ingin membangun otot, diperlukan sekitar 1,5 – 2,0 g/ kg berat badan protein per hari untuk menunjang hipertrofi atau pertumbuhan otot, yang berarti jika kamu memiliki berat badan 55 kg, maka kamu memerlukan sekitar 82,5 – 110 g protein sehari.
Perhatikan pula kualitas sumber protein yang kamu konsumsi ya ladies. Meskipun sumber protein hewani lebih unggul dibandingkan protein nabati dalam hal kandungan asam aminonya, alangkah baiknya kamu mengkombinasikan keduanya untuk mendapatkan zat gizi yang lebih banyak, seperti serat dan fitonutrien dari protein nabati misalnya.
Nah, untuk ladies yang sedang berupaya mengencangkan tubuh dan membangun otot jangan lupa konsumsi WRP Body Shape untuk membantu memenuhi asupan protein kamu sebelum dan sesudah berolahraga. Kandungan proteinnya yang tinggi membantu meningkatkan pembentukan otot dan membantu memperbaiki jaringan otot yang rusak setelah berolahraga.
Sumber:
APKI. (2022). The Complete Guide to Sports Nutrition for Strength Training – Edisi Ketiga v2
ARGOPUR. (n.d). PDCAAS to DIAAS: A new way to look at protein quality. [online] Tersedia di: https://www.agropur.com/us/news/pdcaas-to-diaas-a-new-way-to-look-at-protein-quality
Belfield, A. (n.d). How do we measure protein quality?, [online] Tersedia di: https://www.mysportscience.com/post/measuring-protein-quality
Belfield, A. (n.d). What is protein quality?, [online] Tersedia di: https://www.mysportscience.com/post/what-is-protein-quality
BPOM. (2019). PEDOMAN EVALUASI MUTI GIZI DAN NON GIZI PANGAN. [Online] Tersedia di: https://standarpangan.pom.go.id/dokumen/pedoman/Pedoman-Evaluasi-Mutu-Gizi-dan-Non-Gizi-Pangan.pdf
Hoffman, J. R., & Falvo, M. J. (2004). Protein – Which is Best?. Journal of sports science & medicine, 3(3), 118–130. [online] Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3905294/#:~:text=The%20quality%20of%20a%20protein,FAO%2FWHO%2C%201990).
ISSA. (2020). What is a High Quality Protein?. [online] Tersedia di: https://www.issaonline.com/blog/post/what-is-a-high-quality-protein
Phillips, Stuart. (2017). Current Concepts and Unresolved Questions in Dietary Protein Requirements and Supplements in Adults. Frontiers in Nutrition. 4. 10.3389/fnut.2017.00013.
Sustainable Nutrition Initiative. (n.d). Protein: we need quality, not just quantity. [online] Tersedia di: https://sustainablenutritioninitiative.com/protein-we-need-quality-not-just-quantity/